Sabtu, 31 Oktober 2015

Asap dan Sawit

Saya teringat ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menegah Pertama, guru saya pernah bercerita tentang satu prilaku unik dari para ibu rumah tangga di Jepang. Beliau bercerita tentang bagaimana selektifnya ibu rumah tangga di negeri tersebut dalam hal membeli produk kebutuhan rumah tangga mereka. “Bukan hanya dari sisi harga”, tekan beliau, “Tetapi lebih daripada itu”. Para Ibu rumah tangga di Jepang melihat produk sebagai suatu keseluruhan. Mereka menilai produk mulai dari bagaimana produk itu dibuat, apakah penggunaan produk itu baik bagi diri mereka sendiri maupun lingkungan, apakah produk tersebut diolah dengan menggunakan cara-cara yang tidak merusak lingkungan, bahkan hingga bagaimana perusahaan pembuat produk tersebut memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya. Mereka benar-benar berpikir secara inklusif, menilai produk secara menyeluruh. Seketika saya terkagum dengan apa yang diceritakan oleh guru saya tersebut.

Hal ini memanglah suatu hal yang lumrah ditemukan di negara-negara maju. Masyarakat di negara maju umumnya sudah memiliki wawasan dan kesadaran yang tinggi terhadap dampak lanjut yang dapat ditimbulkan dari penggunaan suatu produk. Membeli produk bukanlah hanya sekedar membeli. Mereka merasa bahwa produk yang mereka gunakan merupakan cerminan dari kehidupan serta apa yang mereka harapkan pada kehidupan mereka. Mereka tidak akan menggunakan produk yang mereka rasa dapat membawa dampak buruk bagi diri mereka maupun lingkungan sekitar karena mereka tahu hal itu akan mempengaruhi kehidupan mereka nantinya. Produk yang mereka konsumsi tidak lain adalah merupakan manifestasi dari diri mereka sendiri. Mereka selalu menuntut yang terbaik dan memaksa ‘pasar’ untuk menyesuaikan diri dengan tuntunan mereka. Sesuai dengan prinsip ekonomi, pasar pun akan dengan sendirinya membentuk suatu kondisi yang dapat mengakomodasi permintaan itu. Hal seperti inilah yang mendorong peradaban mereka berkembang ke arah yang lebih maju. Selalu berekspektasi untuk sesuatu hal yang lebih baik. Namun bagaimana dengan Indonesia?

Saat ini Indonesia tengah terbelalak pada kasus pembakaran lahan yang dampak asapnya telah menyengsarakan hampir 40 juta jiwa. Tidak cukup di negerinya sendiri, asap itupun juga ‘dikirim’ ke negara-negara tetangga. Peristiwa yang telah ditetapkan sebagai bencana nasional inipun ramai diberitakan baik oleh media nasional maupun media internasional. Sorotan tajam ditujukan kepada para pemilik lahan yang melakukan pembakaran, dan para produsen minyak kelapa sawit dinyatakan sebagai salah satu dalang utama dibalik tragedi tersebut.

Indonesia sebenarnya patut bersyukur karena sektor kelapa sawit berhasil menyumbang lebih dari 20 milyar dollar AS pada PDB negara tahun 2014, namun di sisi lain, Indonesia juga patut disalahkan atas hilangnya ratusan ribu lahan hutan hijau untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit tiap tahunnya. Sebagian besar lahan dibuka dengan cara menebang kayu yang memiliki nilai jual tinggi dan kemudian membakar apapun yang tersisa. Cara itu mungkin terdengar sederhana, namun saya jamin tidak bagi puluhan juta orang yang merasakan paparan asapnya. Kondisi seperti ini terjadi tidak hanya pada tahun 2015 atau tahun 2014 saja, namun sudah berdekade lamanya! Pertanyaan pun muncul, mengapa hal ini terus terjadi?

Minyak kelapa sawit merupakan primadona yang dijuluki sebagai ‘tanaman emas’. Minyak kelapa sawit sangat murah serta dapat dimanfaatkan untuk banyak hal, mulai dari produk makanan, kosmetik hingga energi alternatif. Pohon kelapa sawit menggunakan lahan tanam 10 kali lebih efisien jika dibandingkan dengan kedelai dan kanola. Minyak kelapa sawit juga merupakan sumber energi alternatif yang sangat ramah lingkungan dan sangat murah. Manfaat-manfaat inilah yang membuat permintaan akan minyak kelapa sawit terus meningkat tajam. Namun dibalik semua manfaat yang terkandung, minyak kelapa sawit juga membawa bencana bahkan saat sebelum ia ditanam. Setiap tahunnya, hutan dibakar untuk disiapkan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Cara yang mudah dan murah, sama halnya seperti minyak kelapa sawit itu sendiri, namun sangat tidak bermartabat.

Pada tahun 2015, BBC melansir bahwa hanya 20% minyak kelapa sawit dunia yang diproduksi secara ramah lingkungan. Dan hanya separuh dari hasil produksi tersebut yang barhasil dijual ke pasar. Harga yang lebih mahal serta tingginya rasa apatis dan minimnya wawasan konsumen terhadap sustainability produk, membuat minyak kelapa sawit tidak ramah lingkungan tetap berjaya di pasaran. Namun demikian, tentunya ada harga lebih yang harus dibayar dari penggunaan produk tersebut: kesengsaraan puluhan juta jiwa dan hilangnya biodiversitas hayati.

Lalu, apakah kesalahan terletak pada minyak kelapa sawit tidak ramah lingkungan? Jawabannya adalah tidak, karena sesungguhnya kesalahan adalah pada kita sendiri, para pengguna kelapa sawit tak ramah lingkungan. Layaknya pepatah tidak akan ada bara bila tidak ada api, atau, tidak ada semut bila tidak ada gula, fenomena asap dan kelapa sawit tidak lain adalah merupakan cerminan dari para pengguna minyak kelapa sawit yang hanya mengejar harga murah tanpa mempedulikan sustainabilitas produk. Pasar merespon apa yang menjadi permintaan kita, maka banjirlah ia dengan produk minyak kelapa sawit yang ditanam dari hasil pembakaran hutan. Tidak salah bila sesusungguhnya kita sendirilah yang mengharapkan kedatangan bencana asap itu dalam kehidupan kita.

Mungkin banyak dari kita, bahkan para pembuat kebijakan di negeri ini, mencoba untuk mencari pemecahan masalah ini melalui kajian mendalam. Mulai dari menderegulasi peraturan yang memperbolehkan pembakaran hutan untuk membuka lahan, ataupun mempidanakan pelaku pembakaran tersebut. Tapi percayalah, kita hanya perlu melakukan satu hal sederhana: berhenti menggunakan produk minyak kelapa sawit tak ramah lingkungan. Tuntutan harus datang dari para konsumen sehingga kondisi pasar akan tersegmentasi sesuai dengan permintaan kita. Apabila kita dapat memaksa pasar untuk menyediakan apa yang kita minta, maka tidak akan ruang lagi bagi mereka untuk memberikan pasokan minyak kelapa sawit tak ramah lingkunga beserta asap pekat sebagai bonusnya.


Seperti halnya ibu rumah tangga di Jepang dan negara maju lainnya, kita harus mulai melihat suatu produk secara menyeluruh. Tidak hanya dari segi harga saja, namun juga dari sisi dari bagaimana produk itu dibuat hingga menjadi produk jadi. Sebagai konsumen kita harus terus menuntut yang terbaik karena kondisi pasar bergantung atas pilihan kita. Jadi kenapa tidak beli yang baik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar