Saya teringat ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menegah Pertama, guru
saya pernah bercerita tentang satu prilaku unik dari para ibu rumah tangga di Jepang.
Beliau bercerita tentang bagaimana selektifnya ibu rumah tangga di negeri
tersebut dalam hal membeli produk kebutuhan rumah tangga mereka. “Bukan hanya dari
sisi harga”, tekan beliau, “Tetapi lebih daripada itu”. Para Ibu rumah tangga di
Jepang melihat produk sebagai suatu keseluruhan. Mereka menilai produk mulai
dari bagaimana produk itu dibuat, apakah penggunaan produk itu baik bagi diri
mereka sendiri maupun lingkungan, apakah produk tersebut diolah dengan menggunakan
cara-cara yang tidak merusak lingkungan, bahkan hingga bagaimana perusahaan
pembuat produk tersebut memperhatikan kesejahteraan para pekerjanya. Mereka
benar-benar berpikir secara inklusif, menilai produk secara menyeluruh. Seketika
saya terkagum dengan apa yang diceritakan oleh guru saya tersebut.
Hal ini memanglah suatu hal yang lumrah ditemukan di negara-negara maju. Masyarakat
di negara maju umumnya sudah memiliki wawasan dan kesadaran yang tinggi
terhadap dampak lanjut yang dapat ditimbulkan dari penggunaan suatu produk. Membeli
produk bukanlah hanya sekedar membeli. Mereka merasa bahwa produk yang mereka
gunakan merupakan cerminan dari kehidupan serta apa yang mereka harapkan pada
kehidupan mereka. Mereka tidak akan menggunakan produk yang mereka rasa dapat
membawa dampak buruk bagi diri mereka maupun lingkungan sekitar karena mereka
tahu hal itu akan mempengaruhi kehidupan mereka nantinya. Produk yang mereka
konsumsi tidak lain adalah merupakan manifestasi dari diri mereka sendiri. Mereka
selalu menuntut yang terbaik dan memaksa ‘pasar’ untuk menyesuaikan diri dengan
tuntunan mereka. Sesuai dengan prinsip ekonomi, pasar pun akan dengan
sendirinya membentuk suatu kondisi yang dapat mengakomodasi permintaan itu. Hal
seperti inilah yang mendorong peradaban mereka berkembang ke arah yang lebih
maju. Selalu berekspektasi untuk sesuatu hal yang lebih baik. Namun bagaimana
dengan Indonesia?
Saat ini Indonesia tengah terbelalak pada kasus pembakaran lahan yang dampak
asapnya telah menyengsarakan hampir 40 juta jiwa. Tidak cukup di negerinya sendiri,
asap itupun juga ‘dikirim’ ke negara-negara tetangga. Peristiwa yang telah
ditetapkan sebagai bencana nasional inipun ramai diberitakan baik oleh media
nasional maupun media internasional. Sorotan tajam ditujukan kepada para
pemilik lahan yang melakukan pembakaran, dan para produsen minyak kelapa sawit dinyatakan
sebagai salah satu dalang utama dibalik tragedi tersebut.
Indonesia sebenarnya patut bersyukur karena sektor kelapa sawit berhasil menyumbang
lebih dari 20 milyar dollar AS pada PDB negara tahun 2014, namun di sisi lain,
Indonesia juga patut disalahkan atas hilangnya ratusan ribu lahan hutan hijau
untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit tiap tahunnya. Sebagian besar lahan dibuka
dengan cara menebang kayu yang memiliki nilai jual tinggi dan kemudian membakar
apapun yang tersisa. Cara itu mungkin terdengar sederhana, namun saya jamin
tidak bagi puluhan juta orang yang merasakan paparan asapnya. Kondisi seperti
ini terjadi tidak hanya pada tahun 2015 atau tahun 2014 saja, namun sudah
berdekade lamanya! Pertanyaan pun muncul, mengapa hal ini terus terjadi?
Minyak kelapa sawit merupakan primadona yang dijuluki sebagai ‘tanaman emas’.
Minyak kelapa sawit sangat murah serta dapat dimanfaatkan untuk banyak hal,
mulai dari produk makanan, kosmetik hingga energi alternatif. Pohon kelapa
sawit menggunakan lahan tanam 10 kali lebih efisien jika dibandingkan dengan
kedelai dan kanola. Minyak kelapa sawit juga merupakan sumber energi alternatif
yang sangat ramah lingkungan dan sangat murah. Manfaat-manfaat inilah yang
membuat permintaan akan minyak kelapa sawit terus meningkat tajam. Namun dibalik
semua manfaat yang terkandung, minyak kelapa sawit juga membawa bencana bahkan
saat sebelum ia ditanam. Setiap tahunnya, hutan dibakar untuk disiapkan menjadi
lahan perkebunan kelapa sawit. Cara yang mudah dan murah, sama halnya seperti
minyak kelapa sawit itu sendiri, namun sangat tidak bermartabat.
Pada tahun 2015, BBC melansir bahwa hanya 20% minyak kelapa sawit dunia yang
diproduksi secara ramah lingkungan. Dan hanya separuh dari hasil produksi tersebut
yang barhasil dijual ke pasar. Harga yang lebih mahal serta tingginya rasa
apatis dan minimnya wawasan konsumen terhadap sustainability produk, membuat minyak kelapa sawit tidak ramah
lingkungan tetap berjaya di pasaran. Namun demikian, tentunya ada harga lebih
yang harus dibayar dari penggunaan produk tersebut: kesengsaraan puluhan juta
jiwa dan hilangnya biodiversitas hayati.
Lalu, apakah kesalahan terletak pada minyak kelapa sawit tidak ramah
lingkungan? Jawabannya adalah tidak, karena sesungguhnya kesalahan adalah pada kita
sendiri, para pengguna kelapa sawit tak ramah lingkungan. Layaknya pepatah
tidak akan ada bara bila tidak ada api, atau, tidak ada semut bila tidak ada
gula, fenomena asap dan kelapa sawit tidak lain adalah merupakan cerminan dari
para pengguna minyak kelapa sawit yang hanya mengejar harga murah tanpa
mempedulikan sustainabilitas produk. Pasar merespon apa yang menjadi permintaan
kita, maka banjirlah ia dengan produk minyak kelapa sawit yang ditanam dari
hasil pembakaran hutan. Tidak salah bila sesusungguhnya kita sendirilah yang mengharapkan
kedatangan bencana asap itu dalam kehidupan kita.
Mungkin banyak dari kita, bahkan para pembuat kebijakan di negeri ini, mencoba
untuk mencari pemecahan masalah ini melalui kajian mendalam. Mulai dari menderegulasi
peraturan yang memperbolehkan pembakaran hutan untuk membuka lahan, ataupun
mempidanakan pelaku pembakaran tersebut. Tapi percayalah, kita hanya perlu
melakukan satu hal sederhana: berhenti menggunakan produk minyak kelapa sawit tak
ramah lingkungan. Tuntutan harus datang dari para konsumen sehingga kondisi
pasar akan tersegmentasi sesuai dengan permintaan kita. Apabila kita dapat
memaksa pasar untuk menyediakan apa yang kita minta, maka tidak akan ruang lagi
bagi mereka untuk memberikan pasokan minyak kelapa sawit tak ramah lingkunga
beserta asap pekat sebagai bonusnya.
Seperti halnya ibu rumah tangga di Jepang dan negara maju lainnya, kita
harus mulai melihat suatu produk secara menyeluruh. Tidak hanya dari segi harga
saja, namun juga dari sisi dari bagaimana produk itu dibuat hingga menjadi
produk jadi. Sebagai konsumen kita harus terus menuntut yang terbaik karena
kondisi pasar bergantung atas pilihan kita. Jadi kenapa tidak beli yang baik?